Indikator pembangunan nasional adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat. Berbagai upaya dilakukan demi mewujudkan cita-cita perjuangan dan amanat reformasi tersebut. Salah satunya adalah reformasi birokrasi sebagai judul besar dalam rangka peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat yang terus bergulir dengan dinamis. Setiap institusi penyelenggara negara terus bergerak maju dalam mewujudkan birokrasi yang melayani melalui berbagai terobosan dan pengembangan operasi. Peran Aparatur Sipil Negara (ASN) selaku ujung tombak pelaksanaan Reformasi Birokrasi tentu sangat besar mengingat ASN adalah unsur yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dalam melaksanakan setiap kebijakan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut setiap ASN dituntut memiliki kemampuan dan kecakapan sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi dengan maksimal. Termasuk juga ASN yang menduduki jabatan administrasi (Pejabat Pengawas dan Administrator) dan jabatan pimpinan tinggi (Jabatan Pimpinan Tingga Pratama dan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya) harus memenuhi kualifikasi kompetensi teknis, manajerial dan sosiokultural. Ketiga kompetensi tersebut wajib dimiliki oleh setiap pejabat sesuai area kepemimpinannya baik itu operasional, taktikal, strategis dan visioner. Hal tersebut sesuai amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pasal 69 ayat 3 (tiga). Peningkatan kompetensi sosiokultural harus berjalan seimbang dengan kompetensi teknis dan manajerial. Hal ini dikarenakan kompetensi sosiokultural yang bersifat soft kompetensi tersebut adalah sebagai pondasi dari kompetensi teknis dan manajerial. Kompetensi sosiokultural adalah kemampuan dinamis dalam mengambil beragam perspektif atau cara-cara alternatif saat berinteraksi dalam situasi budaya berbeda-beda sehingga dalam bekerja dapat berjalan efektif (Imam B. Prasodjo : 2015). Kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.99 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Perhubungan pada pasal 6 huruf f disebutkan bahwa dalam setiap bertugas PNS di Kemenhub wajib melaksanakan etika berorganisasi yaitu ‘memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas’. Namun tanpa didukung faktor soft kompetensi seperti ‘menciptakan suasana kerja yang harmonis dan kondusif dalam rangka menjamin kelancaran pelaksanaan tugas (pasal 6 huruf m) maka pencapaian tugas dan fungsi organisasi akan terhambat. Kartini Kartono (2010 : 228) menyebutkan bahwa keberhasilan pemimpin itu pada umumnya diukur dari produktivitas dan efektifitas pelaksanaan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Kemudahan informasi dalam satu sentuhan